Pernah mendengar proyek di Google yang bernama Project Aristotle? Project ini dilakukan di tahun 2012. Google menghabiskan jutaan dollar untuk mengukur hampir seluruh aspek kehidupan dari para pegawainya untuk dapat menemukan “The Perfect Team” yang ada di Google. Proyek ini bahkan dilanjutkan di tahun 2015 dengan nama Project Oxygen.
Google ingin menemukan perpaduan sempurna individu untuk membentuk sebuah Stellar Team (Outstanding team). Mereka tadinya berpikir bahwa sebuah team yang solid dan bagus haruslah merupakan kombinasi dari “the best people”. Tapi ternyata asumsi ini perlu dicermati lebih rinci.
Ini adalah hasil proyek Aristotle tersebut:
“We looked at 180 teams from all over the company. We had lots of data, but there was nothing showing that a mix of specific personality types or skills or backgrounds made any difference. The ‘who’ part of the equation didn’t seem to matter.’’
– Abeer Dubey, a manager in Google’s People Analytics division –
Data yang begitu banyak yang dikumpulkan oleh proyek itu mempunyai konklusi yang sama: “Bukan hanya gabungan orang “terbaik” yang dibutuhkan untuk membentuk tim yang diimpikan, namun setiap orang, termasuk manajer atau leader penting untuk tahu bahwa di team-team yang baik, setiap anggotanya, siapapun dia, perlu mem-bangkitkan empati atau mem-perlihatkan sensitivitas yang membangun. Terlebih penting lagi adalah mereka mau mendengar efektif antara satu dengan lainnya.
Di dalam proyek ini ditemukan sebuah faktor yang sangat penting dari Kekompakan Tim yaitu “Psychological Safety”. Artinya penting bagi setiap anggota untuk berada dalam perasaan aman dan nyaman, ketika mengemukakan sesuatu yang mengandung risiko atau sesuatu masalah berat (vulnerable) yang dihadapinya. Setiap anggota menjadi punya keinginan untuk mengemukakan pendapatnya tanpa rasa was-was dan curiga.
Proyek ini juga menyimpulkan bahwa penting bagi setiap anggota untuk berkontribusi dalam sebuah pembicaraan secara adil merata, dengan meng-hormati emosi satu sama lainnya. Tidak mempermasalahkan siapa yang ada di team tersebut, sebab yang terlebih penting lagi adalah bagaimana setiap anggota bisa berinteraksi dan merasa terberdayakan antara satu dengan lainnya.
Kepemimpinan inklusi bukanlah sebuah jabatan atau gelar yang diberikan pada seseorang. Kepemimpinan inklusi adalah sebuah potensi tata kelola persepsi diri (framing) dan kemauan melihat dan menerima segala bentuk pengalaman interaksi (acceptance) di antara anggota sebuah tim atau organisasi.
Penting bagi setiap anggota tim untuk mengentaskan potensi kepemimpinan inklusi yang merupakan bagian dari fitroh seorang manusia.
Berkata pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
Perumpamaan tentang fitroh di hadapan kebenaran seperti retina mata dengan matahari. Setiap orang
yang punya mata kalau dibiarkan tanpa tutup akan mampu melihat matahari.
Keyakinan-keyakinan yang batil datang, berupa sikap yahudi, sikap nasoro, dan sikap majusy, adalah
seumpama penutup mata sehingga tidak mampu melihat matahari.
Kepemimpinan inklusi membuka peluang untuk me-manfaatkan potensi fitroh dan mem-buang penutup-penutup yang menghalangi seseorang melihat potensi kebaikan pada anggota tim yang lain.
Serpong, 8 April 2021
Untuk Al Wafi Islamic Boarding School dan Islamic Leadership Learning Center
Kartiko Adi Pramono
#pengasuhprofesional #google
#leadership #illc