Memberdayakan Manusia Dalam Refleksi, Pemaknaan Dan Internalisasi Sebagai Solusi Pemberdayaan Dan Transformasi Diri
Memberdayakan Manusia Dalam Refleksi, Pemaknaan Dan Internalisasi Sebagai Solusi Pemberdayaan Dan Transformasi Diri
Kartiko Adi Pramono
Memberdayakan Manusia Dalam Refleksi, Pemaknaan Dan Internalisasi Sebagai Solusi Pemberdayaan Dan Transformasi Diri
Persaingan mempertahankan hidup dengan pemenuhan eksistensi ekonomi, intelektual dan status sosial semakin tinggi. Globalisasi dan digitalisasi dan tuntutan pertumbuhan gaya hidup, yang diusung oleh arus neoliberalisme, menjadikan manusia semakin meningkatkan keinginan mendapatkan berbagai kebutuhan yang perlu manusia miliki (the what). Sementara manusia dikooptasi oleh keinginan memenuhi berbagai kebutuhannya, manusia semakin perlu mengalokasikan waktu pada usaha-usaha (the how) mendapatkan apa yang diinginkan. Ini dilakukan karena manusia percaya, bahwa itulah cara untuk mempertahankan eksistensi dirinya di muka bumi. Fenomena dalam meraih the what dan the how ini banyak membawa manusia dalam pragmatisme dalam hidup dan membuat manusia semakin mudah menjadikan yang kasat mata menjadi lebih berharga dalam kehidupannya. Rasa tidak pernah puas selalu menjadi alasan untuk terus memiliki dan menghasilkan. Semakin banyak yang dimiliki, menjadikan manusia semakin tidak puas, sebuah paradox diri. Di saat inilah manusia terjebak dan tidak dapat bertransformasi, bahkan mengarah pada dehumanisasi diri.
Jebakan ini disebabkan oleh ketidakberadaan dan ketidakmampuan manusia menghadirkan makna (the why) pada the what dan the how yang mereka percayai sebagai sumberdaya eksistensi kehidupan. Karena manusia terjebak pada the what dan the how, maka tak tersisa waktu bagi manusia untuk menghadirkan makna (the why) dalam kehidupannya. Inilah yang membuat manusia semakin menggantungkan dirinya pada yang kasat mata, menafikan hal yang kasat hati dan kasat jiwa.
Dalam berbagai ragam momen peningkatan kapasitas diri, kelompok dan institusi, tema-tema yang berhubungan dengan perubahan sikap dan pemberdayaan diri semakin banyak menjadi permintaan. Dimulai dari permintaan pemberdayaan dalam kepemimpinan, komunikasi dan interaksi, pelayanan publik, usaha untuk mendapatkan kesehatan mental, pengembangan pola pikir, sampai pada menjadikan diri sebagai sosok yang baru, datang semakin banyak. Dari beragam permintaan tersebut menunjukkan bahwa semakin dibutuhkannya jalan keluar dari jebakan yang dibuat oleh manusia sendiri. Semakin butuhnya manusia untuk mampu bertansformasi, yaitu tidak hanya bertambah dan berubah secara fisik, namun juga bertambah dan bertumbuh secara makna. Manusia perlu bertransformasi, menjadi diri baru dan memiliki makna baru sejalan dengan bertambahnya kepemilikan dan perubahan statusnya dalam kehidupan. Manusia hadir sebagai mahluk transformational, diciptakan untuk beribadah pada Allah subhanahuwata’ala.
Memberdayakan diri melalui pencarian makna adalah keniscayaan bagi pertumbuhan holistik seorang manusia. Memberdayakan makna berarti manusia memiliki strategi dan sekaligus metode untuk membuat bingkai, sekaligus membingkai ulang hal yang kasat mata menjadi hal yang kasat hati serta kasat jiwa. Memberdayakan makna berarti manusia memiliki kesempatan untuk melihat “yang tidak terlihat”, mendengar “yang tidak terdengar” dan merasakan “yang tidak dirasakan”. Inilah yang membuat arti bagi manusia, inilah yang membuat makna dalam hidupnya. Kolb dalam penjabaran siklus experiential-learning-nya (Kolb EL-Cycle) memberikan alternatif untuk keluar dari jebakan sekaligus membuat dan memberdayakan makna. Kolb menjabarkan bahwa ada tiga langkah setelah seseorang mendapatkan the what dan the how, yaitu refleksi (reflective observation), pemaknaan (abstract conceptualization) dan internalisasi (active experimentation). Inilah tiga langkah di mana seseorang dapat menemukan the why dari perjalanan kehidupannya.
Refleksi dilakukan dengan mengkilas balik pengalaman dan berusaha untuk mendapatkan view of mind dari berbagai sudut pandang. Melihat kembali model of the world atau rekaman representasi kehidupan pada the what dan the how, akan memunculkan perspektif baru sekaligus menjadi evaluasi pada wajah rekaman representasi kehidupannya, dan membuat menusia memiliki perspektif yang lebih luas dan lengkap. Pemaknaan akan hadir di dalam pemikiran ketika beragam facet of mind telah dilakukan, yaitu dari pergeseran cara pandang akan juga menggeser suasana dalam pikir (thinking) dan rasa (feeling), yaitu hadirnya satu atau beberapa value atau nilai baru. Nilai baru yang diaplikasikan oleh pikiran pada future pacing (diplikasikan pad keadaan yang diinginkan di masa mendatang), menjadikan seseorang mampu ber-internalisasi, yaitu mengarahkan pikiran dan hatinya untuk mengaplikasikan nilai baru dalam aplikasi baru. Di saat terlaksananya tiga hal inilah (refleksi, pemaknaan dan internalisasi) akan terbit makna, yang menjadikan manusia menjadi dirinya semakin holistik, bertransformasi dan humanis. Manusia tidak lagi terjebak dalam kerangka the what dan the how yang gersang, namun manusia telah dapat mengisi kegersangan itu dengan the why, yaitu hadirnya makna yang memberdayakan dirinya. The why membangun kesadaan kritis seorang manusia, sehingga dia dapat mengada sebaligus menjadi subyek di atas bumi sebagai makhluk ciptaan Allah subhanahuwata’ala yang sempurna.
Apakah anda sedang merasa terjebak oleh “beban” keduniaan dan kehidupan anda saat ini? Apakah anda sering merasa bahwa anda perlu memiliki dan mengusahakan sesuatu agar anda dapat mempertahankan eksistensi diri anda di dunia ini? Apakah anda senantiasa belum puas dengan apa yang anda miliki saat ini, dalam hal fisik, praksis, mental, dan intelektual? Pernah atau adakah anda memiliki waktu untuk “melihat” kembali apa yang telah menjadi the what dan the how anda selama ini? Adakah momen di mana anda sengaja mengkilas balik kepemilikan dan dinamika proses perjalanan hidup anda? Berapa banyak dan seberapa sering anda menanyakan ‘kenapa’ atau ‘mengapa’ pada the what dan the how anda? Seringkah anda menemukan “aha” dan makna baru yang menjadikan anda memiliki energi, semangat dan cara pandang baru melihat kehidupan anda? Bagaimana model of the world anda (bagaimana anda memandang dunia saat ini)? Apakah anda saat ini merasa terpedaya atau berdaya? Sadarkah anda bahwa tulisan ini membawa anda pada makna baru dalam hidup anda?
Daftar Pustaka
Beard, Wilson, 2006, Experiential Learning; A Best Practice Handbook for Educators and Trainers, Kogan Page, London 2006 Belnap, Hall, 1988, The Sourcebook Of Magic; A Comprehensive Guide To The Technology Of NLP, CrownHouse Publishing Limited, Wales 2000 Fisher, Gallager, 2011, Know thyself: Coaching for leadership using Kolb’s Experiential Learning Theory, The Coaching Psychologist, Vol. 7, No. 1, June 2011 Moon, 2004, A Handbook Of Reflective And Experietial Learning, Taylor And Francis ELibrary, 2005 Yuliawan, 2014, The Art of Enjoying Life – Kiat Sederhana Mengelola Pikiran untuk Hidup Bahagia, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, Februari 2014